Sang suami waktu itu sedang menunggu Surat Keputusan (SK) penempatan
kerjanya. Sebelum SK keluar, waktu senggang diisi oleh sang suami dengan
kerja sambilan. Lumayan buat tambahan persiapan persalinan si kecil
yang sudah dinantikan. Sang istri pun tak kalah semangat. Semampunya
tetap bekerja sampai masa cuti hamil tiba. Berbagai perlengkapan bayi
pun mulai dicicil satu persatu. Mulai dari baju, popok, selimut dan tetek bengek yang lainnya. Hanya tinggal menghitung waktu kelahiran, menunggu mimpi dan angan-angan menimang buah hati yang begitu dinanti.
Namun, bukannya mimpi yang menjadi kenyataan, malah hal yang tak diharapkanlah yang menjadi kenyataan. Allah menguji keikhlasan pasangan muda itu. Menguji kesabaran suami-istri itu. Sang istri keguguran, si bayi lahir ke dunia dengan keadaan tak bernyawa. Tak terbayangkan begitu hancurnya hati seorang ibu ketika menghadapi kenyataan bayi yang dilahirkannya terdiam kaku. Apalagi kelahiran yang pertama. Hati suami pun terasa sangat perih. Angan-angan menjadi seorang ayah pupus seketika.
Perlu waktu untuk benar-benar mengikhlaskan sang buah hati yang tak sempat melihat dunia dan langsung dipanggil Rabbnya itu. Tapi suami-istri tersebut tak mau tenggelam dalam duka. Dukungan dari keluarga, kerabat, sahabat, saudara dan teman pun berdatangan menguatkan hati yang rapuh itu. Sedih? Boleh. Tapi tak boleh berlarut-larut. Suami-istri itu yakin bahwa Allah akan memberikan buah hati lagi untuk mereka. Ikhtiar dan doa pun selalu mereka lakukan agar Allah wujudkan angan yang sempat pupus.
“Duhai Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, kami titipkan di sisi-Mu Habib buah hati kami yang tersayang.” Bayi itu diberi nama Habib, yang tersayang. Dan ia telah menjadi Bayi Surga.
Kesedihan telah menjadi kenangan, tergantikan dengan harapan-harapan yang baru. Setelah melahirkan Habib, sang istri melanjutkan cuti sampai seterusnya. Sebut saja sang istri mengundurkan diri dari pekerjaannya di suatu Departement Store terbesar di kota mereka tinggal. Bukan tanpa alasan sang istri mengundurkan diri. Saat itu SK sang suami sudah keluar dan mendapatkan penempatan kerja di pulau seberang. Pulau tersebut adalah Pulau Kalimantan, seberang utara Pulau Jawa. Di sanalah mereka tinggali saat ini. Kehidupan di kota yang baru pun dimulai.
***
Sebuah rumah kontrakan sederhana, berdinding dan berlantai kayu serta berbentuk rumah panggung khas Kalimantan yang terletak di pinggiran kota. Rumah itu ramai dikunjungi kerabat, sanak saudara dan para tetangga. Maklum, sedang ada acara syukuran Nujuh Bulanan. Semacam kebudayaan merayakan kehamilan yang telah memasuki usia tujuh bulan.
Sebenarnya sang suami kurang setuju dengan budaya-budaya seperti itu, ritual-ritualnya bisa tergolong dalam amalan bid’ah. Tapi sang suami meniatkan itu sebagai acara syukuran dan berbagi kebahagiaan bersama orang-orang sekitar serta menghormati usulan orang tua angkat pasangan suami-istri tersebut yang merupakan penduduk asli daerah itu. Begitulah hidup di perantauan, harus pintar-pintar menyikapi berbagai macam hal.
Acara Nujuh Bulanan telah selesai. Para undangan telah meninggalkan acara. Tiba-tiba, cairan bening membasahi sekujur kaki sang istri. Tidak salah lagi cairan itu adalah air ketuban. Sang istri begitu terkejut. Mengingat usia kandungan yang baru tujuh bulan. Sungguh tak wajar ketuban telah pecah. Harusnya hal itu terjadi pada saat usia kandungan sembilan bulan ketika sudah saatnya bayi untuk lahir. Trauma masa lalu pun menghampiri, takut kehilangan sang buah hati untuk yang kedua kalinya.
Menyaksikan kejadian itu, sang istri langsung pucat. Lalu memanggil suaminya. Sang suami bergegas meminta bantuan orang tua angkat mereka yang tinggal di sebelah rumah serta bantuan tetangga sekitar. Sekaligus mencari Bidan untuk segera melakukan proses persalinan.
“Masih ada harapan, ini kelahiran prematur, banyak kelahiran prematur yang berhasil. Bayi ini masih bisa dilahirkan dengan selamat!” Sang Bidan meyakinkan. Sang suami harap-harap cemas mendampingi istrinya sembari melantunkan doa-doa di dalam hati. Sementara itu, sang istri berjuang dengan nyawanya. Keringat bercucuran, rasa sakit-perih dan badan bersimbah darah demi sang buah hati yang dinantikan.
Akhirnya, lahirlah seorang bayi laki-laki dari rahim sang istri. Sang istri pun bisa bernafas lega, rasa syukur pun terucap. Begitupula dengan sang suami, bidan dan semua orang yang membantu persalinan juga memanjatkan syukur.
Tapi ada yang aneh dengan bayi itu. Tubuhnya begitu mungil karena terlahir lebih cepat daripada kelahiran bayi normal. Selain tubuhnya yang begitu mungil, yang panjangnya tak lebih seukuran telapak sampai siku orang dewasa, ia juga tidak menangis saat dilahirkan, hanya diam. Kulitnya pun berwarna sangat merah dan tak ada sehelai rambut pun yang tumbuh. Si Bayi lahir tidak sempurna. Tak terbayangkan bagaimana perasaan suami-istri tersebut. Semua orang menjadi cemas, terutama sang istri yang entah harus bagaimana lagi. Lalu dengan sigap sang bidan mengangkat tubuh bayi dan menepuk-nepuk punggungnya, mungkin ada air ketuban yang menyedak kerongkongan si bayi. Ternyata benar, setelah Bidan melakukan tindakan, bayi itu pun menangis, “owe.” Tapi hanya sekali itu saja.
Alhamdulillah, bayi itu telah bernafas. Dia hidup! Seorang bayi telah lahir ke dunia. Semuanya pun lega. Alhamdulillah. Bayi itu diberi nama Syakur. Yakni wujud syukur karena ia terlahir sebagai Bayi Dunia.
***
Di satu sisi, suami-istri itu sangat bersyukur. Akhirnya, kali ini mereka memiliki buah hati dan telah menjadi orangtua sehingga lengkaplah keberkahan pernikahan mereka. Di sisi lain, ada kesedihan yang tak bisa disembunyikan ketika melihat bayi mereka lahir berbeda. Selama beberapa bulan bayi itu selalu tidur. Ketika bangun pun hanya sebentar jika ingin menyusui atau buang air. Dan matanya tetap terpejam. Si Bayi juga sangat jarang menangis. Orang tuanyalah yang menangis. Hingga airmata mereka telah habis, maka batin merekalah yang menangis.
Muncul berbagai prasangka. Khawatir bayi mereka akan tumbuh cacat. Astagfirullah, dibuang jauh-jauh prasangka itu. Mereka yakin, Allah Maha Adil. Sang istri berusaha tegar dan selalu menjaga di samping buah hati tercintanya. Sang suami pun berusaha lebih sabar, sebab sang suami tak boleh terlihat sedih dan ia harus menguatkan hati istrinya.
Allah memang Maha Adil, perlahan bayi mungil itu tumbuh dan berkembang dengan baik, malah lebih pesat dari bayi normal. Tumbuh menjadi bayi yang lucu dan sehat. Kesabaran dan ketegaran suami-istri tersebut pun berbuah kebahagiaan. Menjadi pelipur lara kenangan tentang anak pertama mereka.
“Duhai Allah Yang Maha Pengasih, Berjuta puja dan puji untuk Engkau atas rasa syukur dan rasa terima kasih.”
***
Bayi Dunia itu adalah Aku. Perkenalkan, namaku adalah Amru (El-)Aziz(y) Shobbarin Syakur Yunus, adik dari Habib si Bayi Surga, anak dari orang tua yang luar biasa. Semoga kisah ini bisa menjadi sedikit penentram hati bagi mereka yang sedang menantikan Bayi Dunia, mereka yang bayinya telah menjadi Bayi Surga dan mereka para Bayi Dunia yang terlahir berbeda seperti aku. Mudah-mudahan Allah berkahi kita semua. Aaamiin.
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2014/04/28/50462/bayi-surga-dan-bayi-dunia/#ixzz30NW5DhOH
Namun, bukannya mimpi yang menjadi kenyataan, malah hal yang tak diharapkanlah yang menjadi kenyataan. Allah menguji keikhlasan pasangan muda itu. Menguji kesabaran suami-istri itu. Sang istri keguguran, si bayi lahir ke dunia dengan keadaan tak bernyawa. Tak terbayangkan begitu hancurnya hati seorang ibu ketika menghadapi kenyataan bayi yang dilahirkannya terdiam kaku. Apalagi kelahiran yang pertama. Hati suami pun terasa sangat perih. Angan-angan menjadi seorang ayah pupus seketika.
Perlu waktu untuk benar-benar mengikhlaskan sang buah hati yang tak sempat melihat dunia dan langsung dipanggil Rabbnya itu. Tapi suami-istri tersebut tak mau tenggelam dalam duka. Dukungan dari keluarga, kerabat, sahabat, saudara dan teman pun berdatangan menguatkan hati yang rapuh itu. Sedih? Boleh. Tapi tak boleh berlarut-larut. Suami-istri itu yakin bahwa Allah akan memberikan buah hati lagi untuk mereka. Ikhtiar dan doa pun selalu mereka lakukan agar Allah wujudkan angan yang sempat pupus.
“Duhai Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, kami titipkan di sisi-Mu Habib buah hati kami yang tersayang.” Bayi itu diberi nama Habib, yang tersayang. Dan ia telah menjadi Bayi Surga.
Kesedihan telah menjadi kenangan, tergantikan dengan harapan-harapan yang baru. Setelah melahirkan Habib, sang istri melanjutkan cuti sampai seterusnya. Sebut saja sang istri mengundurkan diri dari pekerjaannya di suatu Departement Store terbesar di kota mereka tinggal. Bukan tanpa alasan sang istri mengundurkan diri. Saat itu SK sang suami sudah keluar dan mendapatkan penempatan kerja di pulau seberang. Pulau tersebut adalah Pulau Kalimantan, seberang utara Pulau Jawa. Di sanalah mereka tinggali saat ini. Kehidupan di kota yang baru pun dimulai.
***
Sebuah rumah kontrakan sederhana, berdinding dan berlantai kayu serta berbentuk rumah panggung khas Kalimantan yang terletak di pinggiran kota. Rumah itu ramai dikunjungi kerabat, sanak saudara dan para tetangga. Maklum, sedang ada acara syukuran Nujuh Bulanan. Semacam kebudayaan merayakan kehamilan yang telah memasuki usia tujuh bulan.
Sebenarnya sang suami kurang setuju dengan budaya-budaya seperti itu, ritual-ritualnya bisa tergolong dalam amalan bid’ah. Tapi sang suami meniatkan itu sebagai acara syukuran dan berbagi kebahagiaan bersama orang-orang sekitar serta menghormati usulan orang tua angkat pasangan suami-istri tersebut yang merupakan penduduk asli daerah itu. Begitulah hidup di perantauan, harus pintar-pintar menyikapi berbagai macam hal.
Acara Nujuh Bulanan telah selesai. Para undangan telah meninggalkan acara. Tiba-tiba, cairan bening membasahi sekujur kaki sang istri. Tidak salah lagi cairan itu adalah air ketuban. Sang istri begitu terkejut. Mengingat usia kandungan yang baru tujuh bulan. Sungguh tak wajar ketuban telah pecah. Harusnya hal itu terjadi pada saat usia kandungan sembilan bulan ketika sudah saatnya bayi untuk lahir. Trauma masa lalu pun menghampiri, takut kehilangan sang buah hati untuk yang kedua kalinya.
Menyaksikan kejadian itu, sang istri langsung pucat. Lalu memanggil suaminya. Sang suami bergegas meminta bantuan orang tua angkat mereka yang tinggal di sebelah rumah serta bantuan tetangga sekitar. Sekaligus mencari Bidan untuk segera melakukan proses persalinan.
“Masih ada harapan, ini kelahiran prematur, banyak kelahiran prematur yang berhasil. Bayi ini masih bisa dilahirkan dengan selamat!” Sang Bidan meyakinkan. Sang suami harap-harap cemas mendampingi istrinya sembari melantunkan doa-doa di dalam hati. Sementara itu, sang istri berjuang dengan nyawanya. Keringat bercucuran, rasa sakit-perih dan badan bersimbah darah demi sang buah hati yang dinantikan.
Akhirnya, lahirlah seorang bayi laki-laki dari rahim sang istri. Sang istri pun bisa bernafas lega, rasa syukur pun terucap. Begitupula dengan sang suami, bidan dan semua orang yang membantu persalinan juga memanjatkan syukur.
Tapi ada yang aneh dengan bayi itu. Tubuhnya begitu mungil karena terlahir lebih cepat daripada kelahiran bayi normal. Selain tubuhnya yang begitu mungil, yang panjangnya tak lebih seukuran telapak sampai siku orang dewasa, ia juga tidak menangis saat dilahirkan, hanya diam. Kulitnya pun berwarna sangat merah dan tak ada sehelai rambut pun yang tumbuh. Si Bayi lahir tidak sempurna. Tak terbayangkan bagaimana perasaan suami-istri tersebut. Semua orang menjadi cemas, terutama sang istri yang entah harus bagaimana lagi. Lalu dengan sigap sang bidan mengangkat tubuh bayi dan menepuk-nepuk punggungnya, mungkin ada air ketuban yang menyedak kerongkongan si bayi. Ternyata benar, setelah Bidan melakukan tindakan, bayi itu pun menangis, “owe.” Tapi hanya sekali itu saja.
Alhamdulillah, bayi itu telah bernafas. Dia hidup! Seorang bayi telah lahir ke dunia. Semuanya pun lega. Alhamdulillah. Bayi itu diberi nama Syakur. Yakni wujud syukur karena ia terlahir sebagai Bayi Dunia.
***
Di satu sisi, suami-istri itu sangat bersyukur. Akhirnya, kali ini mereka memiliki buah hati dan telah menjadi orangtua sehingga lengkaplah keberkahan pernikahan mereka. Di sisi lain, ada kesedihan yang tak bisa disembunyikan ketika melihat bayi mereka lahir berbeda. Selama beberapa bulan bayi itu selalu tidur. Ketika bangun pun hanya sebentar jika ingin menyusui atau buang air. Dan matanya tetap terpejam. Si Bayi juga sangat jarang menangis. Orang tuanyalah yang menangis. Hingga airmata mereka telah habis, maka batin merekalah yang menangis.
Muncul berbagai prasangka. Khawatir bayi mereka akan tumbuh cacat. Astagfirullah, dibuang jauh-jauh prasangka itu. Mereka yakin, Allah Maha Adil. Sang istri berusaha tegar dan selalu menjaga di samping buah hati tercintanya. Sang suami pun berusaha lebih sabar, sebab sang suami tak boleh terlihat sedih dan ia harus menguatkan hati istrinya.
Allah memang Maha Adil, perlahan bayi mungil itu tumbuh dan berkembang dengan baik, malah lebih pesat dari bayi normal. Tumbuh menjadi bayi yang lucu dan sehat. Kesabaran dan ketegaran suami-istri tersebut pun berbuah kebahagiaan. Menjadi pelipur lara kenangan tentang anak pertama mereka.
“Duhai Allah Yang Maha Pengasih, Berjuta puja dan puji untuk Engkau atas rasa syukur dan rasa terima kasih.”
***
Bayi Dunia itu adalah Aku. Perkenalkan, namaku adalah Amru (El-)Aziz(y) Shobbarin Syakur Yunus, adik dari Habib si Bayi Surga, anak dari orang tua yang luar biasa. Semoga kisah ini bisa menjadi sedikit penentram hati bagi mereka yang sedang menantikan Bayi Dunia, mereka yang bayinya telah menjadi Bayi Surga dan mereka para Bayi Dunia yang terlahir berbeda seperti aku. Mudah-mudahan Allah berkahi kita semua. Aaamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar