dakwatuna.com – “Sa, aku mohon kembalilah padaku. Aku mohon.” Pintanya dengan linangan air mata.
Rasa sakit hati yang aku terima dulu masih terasa. Dulu, dia meninggalkanku dan menikah dengan perempuan lain, perempuan pilihannya sendiri. Sangat tidak mudah mengobati luka yang begitu dalam. Benci pun terus saja menyelimuti hati. Kini, dia mengharap cintaku kembali? Enak saja. Semudah itukah dia mempermainkan perasaanku?
“Aku ga bisa.” Jawabku tegas menahan air mata.
“Mungkin saja Allah benar-benar menakdirkan kita untuk bersama, Sa. Mungkin ini saatnya.” Jelasnya.
“Dimana hatimu saat aku memohon padamu? Memohon agar kamu tidak menikahi wanita itu? Apakah kamu saat itu mengerti bagaimana perasaanku?” Aku mencerca dengan pertanyaan. Ya, ungkapan emosi kekecewaan yang aku rasakan dulu kini meluap sudah.
“Seenaknya saja kamu meninggalkanku dan sekarang meminta kembali mencinta? Tidak akan pernah.” Aku masih saja membentaknya.
“Tapi kan kamu tau, Sa, kondisinya sekarang sudah berubah. Wanita yang aku nikahi dulu sudah meninggal saat melahirkan Keyla. Aku memilihmu untuk melengkapi sisa hidupku dan anakku. Aku mohon, Sa.” Terangnya.
Aku hanya mengatur nafas yang sedari tadi menumpahkan emosi benci dan sakit hati sambil menampakkan muka marah. Aku sadar, setan tengah menggodaku untuk semakin meluapkan kemarahanku. Panas di ubun-ubun aku rasakan. Tanpa sadar, air mata yang sudah menggelayut di kelopak mata, meleleh sudah. Aku terisak. Pun dengan dirinya.
“Sa, tidak adakah sisa cintamu untukku? Aku sedang terpuruk karena 3 bulan yang lalu istriku pergi. Aku ingat padamu dan berharap kembali padamu.” Lagi-lagi penjelasannya membuat lelehan air mata semakin mencair.
Memang aku tidak bisa membohongi perasaanku sendiri. Sekalipun benci, tapi masih tersimpan rasa sayang padanya. Aku pun hanya bisa terdiam.
Pertemuan itu membuat fikiranku semakin kalut. Bagaimana tidak, orang yang sekian lama aku harapkan tapi meninggalkanku, kini memintaku kembali. Di sisi lain, aku tengah menjalani proses perkenalan dengan pemuda yang dikenalkan seorang sahabat.
“Sa, fikirkan baik-baik. Jangan terburu-buru mengambil keputusan. Faisal benar-benar mengharapkanmu.” Tiba-tiba kuterima sms dari Rafik, sahabat Faisal. Aku semakin bingung, darimana dia dapatkan nomor handphoneku? Apa mungkin sms itu atas permintaan Faisal? Aku pun tidak mau bingung dengan pertanyaanku sendiri. Mematikan handphone adalah solusi terbaik saat itu.
***
“Sa! Sa!” Panggil Dini
“Kansa!” Panggilnya lagi. Ternyata panggilan Dini membuat lamunanku buyar. Segera kurangkul Dini dan menumpahkan beban di hati dengan tangisan.
Dini hanya bisa mengelus-elus punggungku sebagai upayanya untuk menenangkan sahabat yang dikenalnya sejak SMP ini.
“Kenapa dia harus kembali? Kenapa?” Tanyaku sambil sesunggukan.
Dini hanya diam tak menjawab. Dia tak mau jawabannya salah dan menambah lukaku.
“Kamu tahu kan? Bahwa aku susah payah melupakannya. Sekarang ketika aku bisa menghapus bayang-bayangnya, dia kembali seenaknya. Sakit, Din. Hati ini sakit.” Lanjutku.
“Keluarkan dulu saja tangismu, biar plong.” Saran Dini di tengah tangisan.
Aku pun mulai mengatur nafas setelah melepaskan diri dari rangkulan Dini.
“Aku harus gimana, Din?” Tanyaku yang mulai tenang.
“Sa, kamu masih sayang sama Faisal?” Tanya Dini seketika.
Tatapanku padanya membuat Dini berasumsi sendiri. “Jadi kamu masih sayang dia?”
Aku hanya menunduk dan tangisku pun kembali pecah.
“Sa, lelaki yang aku tawarkan itu meminta jawabannya segera. Orangtuanya mendesak agar disegerakan prosesnya.” Jelas Dini mengalihkan bahasan.
“Iya, Din. Insya Allah segera aku kabari,” jawabku lemah.
***
Istikharah menjadi pilihan terbaik bagiku yang sedang bimbang. Meminta yang terbaik dari yang baik bagi kehidupan dunia dan akhirat.
“Kenapa ya, aku merasa lebih cenderung ke Faisal? Apa dia jodohku?” Tanyaku
“Lalu, hasil istikharahmu?” Dini bertanya memastikan dan aku hanya diam tak bergeming.
Skenario Allah jauh lebih indah dari skenario siapapun. Tugas manusia hanya berusaha dan tawakal. Masalah dikabulkan atau tidak, itu sudah bukan menjadi perkara manusia.
***
Nafas panjang membuatku menerawang jauh ke langit biru. Memori di masa lalu kembali terungkap. Tidak ada yang sia-sia. Yakinku dalam hati. Tangisan bayi membuat lamunanku buyar.
“Sayang, kenapa? Lapar ya? Mama buatkan susu dulu ya.” Bayi itu sudah berusia 6 bulan.
Sejak dua bulan yang lalu, bayi itu menjadi bayiku. Bayi yang Allah titipkan melalui Faisal dan istrinya. Faisal sudah menyusul istrinya dua bulan yang lalu dalam kecelakaan. Ya, inilah jalan yang harus aku lalui sekarang, punya bayi perempuan tanpa melahirkan. Tapi, tak masalah bagiku.
“Dek, mas berangkat dulu ya.” Pamit seseorang sambil mendekatiku dan mencium si bayi dan keningku. Ya, Allah takdirkanku bersama Rafik, sahabat Faisal yang kini menjadi suamiku dan ayah pengganti bagi Keyla sejak sebulan yang lalu. Dialah jodoh terbaik yang Allah kirimkan untukku. Jodoh yang tanpa disangka orangnya.
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2014/04/28/50467/diakah-jodohku/#ixzz30NWfmmD2
Rasa sakit hati yang aku terima dulu masih terasa. Dulu, dia meninggalkanku dan menikah dengan perempuan lain, perempuan pilihannya sendiri. Sangat tidak mudah mengobati luka yang begitu dalam. Benci pun terus saja menyelimuti hati. Kini, dia mengharap cintaku kembali? Enak saja. Semudah itukah dia mempermainkan perasaanku?
“Aku ga bisa.” Jawabku tegas menahan air mata.
“Mungkin saja Allah benar-benar menakdirkan kita untuk bersama, Sa. Mungkin ini saatnya.” Jelasnya.
“Dimana hatimu saat aku memohon padamu? Memohon agar kamu tidak menikahi wanita itu? Apakah kamu saat itu mengerti bagaimana perasaanku?” Aku mencerca dengan pertanyaan. Ya, ungkapan emosi kekecewaan yang aku rasakan dulu kini meluap sudah.
“Seenaknya saja kamu meninggalkanku dan sekarang meminta kembali mencinta? Tidak akan pernah.” Aku masih saja membentaknya.
“Tapi kan kamu tau, Sa, kondisinya sekarang sudah berubah. Wanita yang aku nikahi dulu sudah meninggal saat melahirkan Keyla. Aku memilihmu untuk melengkapi sisa hidupku dan anakku. Aku mohon, Sa.” Terangnya.
Aku hanya mengatur nafas yang sedari tadi menumpahkan emosi benci dan sakit hati sambil menampakkan muka marah. Aku sadar, setan tengah menggodaku untuk semakin meluapkan kemarahanku. Panas di ubun-ubun aku rasakan. Tanpa sadar, air mata yang sudah menggelayut di kelopak mata, meleleh sudah. Aku terisak. Pun dengan dirinya.
“Sa, tidak adakah sisa cintamu untukku? Aku sedang terpuruk karena 3 bulan yang lalu istriku pergi. Aku ingat padamu dan berharap kembali padamu.” Lagi-lagi penjelasannya membuat lelehan air mata semakin mencair.
Memang aku tidak bisa membohongi perasaanku sendiri. Sekalipun benci, tapi masih tersimpan rasa sayang padanya. Aku pun hanya bisa terdiam.
Pertemuan itu membuat fikiranku semakin kalut. Bagaimana tidak, orang yang sekian lama aku harapkan tapi meninggalkanku, kini memintaku kembali. Di sisi lain, aku tengah menjalani proses perkenalan dengan pemuda yang dikenalkan seorang sahabat.
“Sa, fikirkan baik-baik. Jangan terburu-buru mengambil keputusan. Faisal benar-benar mengharapkanmu.” Tiba-tiba kuterima sms dari Rafik, sahabat Faisal. Aku semakin bingung, darimana dia dapatkan nomor handphoneku? Apa mungkin sms itu atas permintaan Faisal? Aku pun tidak mau bingung dengan pertanyaanku sendiri. Mematikan handphone adalah solusi terbaik saat itu.
***
“Sa! Sa!” Panggil Dini
“Kansa!” Panggilnya lagi. Ternyata panggilan Dini membuat lamunanku buyar. Segera kurangkul Dini dan menumpahkan beban di hati dengan tangisan.
Dini hanya bisa mengelus-elus punggungku sebagai upayanya untuk menenangkan sahabat yang dikenalnya sejak SMP ini.
“Kenapa dia harus kembali? Kenapa?” Tanyaku sambil sesunggukan.
Dini hanya diam tak menjawab. Dia tak mau jawabannya salah dan menambah lukaku.
“Kamu tahu kan? Bahwa aku susah payah melupakannya. Sekarang ketika aku bisa menghapus bayang-bayangnya, dia kembali seenaknya. Sakit, Din. Hati ini sakit.” Lanjutku.
“Keluarkan dulu saja tangismu, biar plong.” Saran Dini di tengah tangisan.
Aku pun mulai mengatur nafas setelah melepaskan diri dari rangkulan Dini.
“Aku harus gimana, Din?” Tanyaku yang mulai tenang.
“Sa, kamu masih sayang sama Faisal?” Tanya Dini seketika.
Tatapanku padanya membuat Dini berasumsi sendiri. “Jadi kamu masih sayang dia?”
Aku hanya menunduk dan tangisku pun kembali pecah.
“Sa, lelaki yang aku tawarkan itu meminta jawabannya segera. Orangtuanya mendesak agar disegerakan prosesnya.” Jelas Dini mengalihkan bahasan.
“Iya, Din. Insya Allah segera aku kabari,” jawabku lemah.
***
Istikharah menjadi pilihan terbaik bagiku yang sedang bimbang. Meminta yang terbaik dari yang baik bagi kehidupan dunia dan akhirat.
“Kenapa ya, aku merasa lebih cenderung ke Faisal? Apa dia jodohku?” Tanyaku
“Lalu, hasil istikharahmu?” Dini bertanya memastikan dan aku hanya diam tak bergeming.
Skenario Allah jauh lebih indah dari skenario siapapun. Tugas manusia hanya berusaha dan tawakal. Masalah dikabulkan atau tidak, itu sudah bukan menjadi perkara manusia.
***
Nafas panjang membuatku menerawang jauh ke langit biru. Memori di masa lalu kembali terungkap. Tidak ada yang sia-sia. Yakinku dalam hati. Tangisan bayi membuat lamunanku buyar.
“Sayang, kenapa? Lapar ya? Mama buatkan susu dulu ya.” Bayi itu sudah berusia 6 bulan.
Sejak dua bulan yang lalu, bayi itu menjadi bayiku. Bayi yang Allah titipkan melalui Faisal dan istrinya. Faisal sudah menyusul istrinya dua bulan yang lalu dalam kecelakaan. Ya, inilah jalan yang harus aku lalui sekarang, punya bayi perempuan tanpa melahirkan. Tapi, tak masalah bagiku.
“Dek, mas berangkat dulu ya.” Pamit seseorang sambil mendekatiku dan mencium si bayi dan keningku. Ya, Allah takdirkanku bersama Rafik, sahabat Faisal yang kini menjadi suamiku dan ayah pengganti bagi Keyla sejak sebulan yang lalu. Dialah jodoh terbaik yang Allah kirimkan untukku. Jodoh yang tanpa disangka orangnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar